Selasa, 22 Maret 2016

KERAJAAN HINDU-BUDHA




B.Kehidupan Negara Negara Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia
Lahirnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha merupakan salah satu perubahan yang penting dengan masuknya pengaruh tradisi Hindu-Buddha di Indonesia. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Lama (Berpusat di Jawa Tengah), Kerajaan Mataram Lama (Berpusat di Jawa Timur), Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan di Bali.

Kerajaan Kutai terletak di dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari tujuh buah prasasti (Yupa) yang ditemukan di Muarakaman, tepi Sungai Mahakam. Prasasti yang berbentuk yupa itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.


.
Kerajaan Tarumanegara. Pulau Jawa memasuki catatan sejarah sejak abad ke-2 Masehi. Dalam catatan India yang ditulis pada awal abad ke-2, berjudul Mahaniddesa, sudah tercantum nama Yawadwipa (Pulau Jawa). Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani, menyebutkan bahwa Pulau Labadiou ketika menguraikan daerah Asia Tenggara dalam bukunya Geographike Hyphegesis, yang ditulisnya pada sekitar tahun 150 M. Sejak pertengahan abad ke-3, catatan Cina sudah menyebut She-po (Jawa).


Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatra Selatan. Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang dan diperkirakan telah berdiri pada abad ke-7 M. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri.


Kerajaan Mataram Kuno (berpusat di Jawa Tengah). Sejarah Indonesia mengenal dua Kerajaan Mataram, yaitu Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan Mataram Islam yang merupakan cikal bakal Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Kedua kerajaan itu berbeda dalam hal agama dan dinasti, namun kedua-duanya berkembang pada daerah yang sama yaitu di Jawa Tengah dan Yogyakarta.


Kerajaan Singhasari. Sumber-sumber yang menyebutkan tentang kerajaan Singhasari antara lain prasasti Mulamalurung. Prasasti ini dikeluarkan oleh Wisnu Wardhana raja Singhasari yang isinya menyebutkan pemberian hadiah desa Dandea Malurung oleh Wisnu Wardhana kepada Pranaraja.


Kerajaan Majapahit. Berbicara tentang Kerajaan Majapahit berarti berbicara tetang sebuah puncak kejayaan dari peradaban Hindu-Buddha yang pernah hidup di Indonesia. Kerajaan Majapahit disebut sebagai kerajaan nasional Indonesia yang ke dua. Hal tersebut disebabkan oleh upaya yang besar dari kerajaan ini untuk mewujudkan suatu cita-cita yaitu penyatuan Nusantara. Dalam perjalanan Sejarah, upaya integrasi wilayah kepulauan Nusantara memang tidak sepenuhnya berlangsung dengan mulus dan dilakukakan dengan cara Ksatria. Peristiwa bubat yang disusul dengan perpecahan internal didalam tubuh majapahit sendiri menyebabkan cita-cita penyatuan tidak sepenuhnya dapat dilakukan. 


Kerajaan Sunda. Berita tentang kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat setelah kerajaan Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup kuat dan sedikit menerima pengaruh Buddha.


Kerajaan Bali. Nama Bali sudah lama dikenal dalam beberapa sumber kuno. Dalam berita Cina abad ke-7 disebut adanya nama daerah yang bernama Dwapa-tan, yang terletak di sebelah timur Kerajaan Holing (Jawa). Menurut para ahli nama Dwa-pa-tan ini sama dengan Bali. Adat istiadat penduduk Dwapa-tan ini sama dengan di Holing, yaitu setiap bulan padi sudah dipetik, penduduknya menulis dengan daun lontar, orang yang meninggal dihiasi dengan emas, dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas serta diberi harumharuman, kemudian mayat itu dibakar.



Sistem dan Struktur Sosial Masyarakat pada Masa Kerajaan kerajaan Hindu-Buddha 

          Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, sistem dan struktur sosial masyarakat Indonesia mulai dikenal. Sesuai dengan stratifikasi sosial Hindu, masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas sosial yaitu kelas Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Tetapi klasifikasi itu tidak ketat seperti di India. Kelas Brahmana merupakan kasta tertinggi. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam keagamaan. Kasta kedua adalah kelas Ksatria, yaitu kaum bangsawan, para raja beserta keluarganya. Kasta ketiga adalah kelas Waisya, yang terdiri atas kaum pedagang. Sedangkan kelas yang paling rendah adalah Sudra, yang termasuk dalam kelas ini adalah para petani dan kaum buruh.

         Masyarakat pada kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, selain mendapat penggolongan berdasarkan agama, dibagi juga berdasarkan golongan elite dan golongan rakyat biasa. Adapun yang termasuk golongan elite adalah raja dan keluarganya beserta aparat pemerintahannya. Golongan ini tinggal di ibu kota kerajaan. Sedangkan yang termasuk rakyat biasa adalah mereka yang berada di luar golongan elite dan biasanya mereka tersebar di daerah daerah yang menjadi daerah kekuasaan kerajaan. Mereka yang bukan penganut agama Hindu maupun Buddha, dan masih memeluk kepercayaan leluhur nenek moyang mereka. Pada kerajaan-kerajaan tertentu tidak dimasukkan ke dalam kelompok kasta. Kelompok seperti ini ada, terutama pada kerajaan-kerajaan Hindu tertua seperti Kerajaan Kutai dan Tarumanegara. Pada kerajaan tua ini diperkirakan agama Hindu-Buddha masih banyak dianut oleh kalangan atas, sedangkan kalangan bawah belum tersentuh banyak oleh pengaruh India (Hindu-Buddha). Sumber Fa-hsien menyebutkan bahwa di kerajaan Tarumanegara terdapat kelompok masyarakat yang beragama kotor. Ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan agama kotor yaitu agama penduduk asli masyarakat setempat yang belum dipengaruhi oleh budaya India.
Letak kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia sebagian besar berada di pedalaman. Letak kerajaan yang demikian mengakibatkan kehidupan masyarakat lebih banyak berpijak pada kehidupan agraris. Oleh sebab itu, sebagian terbesar kehidupan sosial masyarakatnya merupakan masyarakat petani. Pertanian yang dilakukan, baik pertanian dalam bentuk pembuatan sawah maupun perkebunan, terutama menanam buah dan sayur-sayuran. Dalam beberapa prasasti atau sumber lainnya tentang kerajaan Hindu-Buddha, terdapat informasi tentang pertanian. Prasasti Tugu dari kerajaan Tarumanagara menyebutkan tentang pembuatan saluran oleh raja Tarumanegara, yang berfungsi untuk mengairi pesawahan penduduk. Pertanian menjadi salah satu sumber pendapatan negara, sehingga menjadi pusat perhatian kerajaan. Di Mataram ada pejabat khusus yang menangani masalah pertanian yaitu huluair, petugas yang mengurus masalah pengairan di desa. Selain itu, ada pula petugas di desa yang mengurusi masalah persediaan beras atau padi yaitu hulu wras. Di Bali pada masa kekuasaan setelah Udayana, penduduknya disebut karamandan thani. Sebutan ini berkaitan dengan sebagian besar kehidupan penduduk Bali pada masa itu dari pertanian. Begitu pula cara pertanian yang dilakukan masyarakat Sunda yaitu dengan cara ngahumayaitu menanam padi tidak di sawah tetapi di kebun, atau lahan yang tidak digenangi air seperti halnya sawah. Di dalam naskah Siksakanda ng Karesianterdapat kata- kata yang berhubungan dengan alat-alat pertanian seperti kujang, patik, baliung, koreddansadap.
Selain pertanian sawah, masyarakat Indonesia pada masa kerajaan Hindu Buddha sudah pula bertani tanam-tanaman dan buah-buahan. Beberapa tanam tanaman yang sudah dikenal yaitu nyuatau tirisan(kelapa), pring(bambu), hano(enau), kamiri(kemiri), kapulaga(kapulaga), kusumbha(kesumba), tals(talas), bawang bang(bawang merah), pipakan(jahe), Mulaphala (umbi-umbi lainnya, wortel), hartak(kacang hijau), pucang(pinang), jeruk (jeruk),lunak ataucamalagi(asam), pisangatau byu(pisang), sarwaphala (buah-bauhan),sarwawija(padi-padian), kapas(kapas),kapir(kapuk randu), damar(damar) dan lain-lain. Selain bertani, terdapat pula kelompok masyarakat yang bekerja dalam berbagai bidang, seperti peternak, pemburu, pedagang, pelaut, penangkap ikan, pengrajin, pekerja seni dan pekerja-pekerja lainnya. Peternakan sapi diperkirakan sudah ada pada masa kerajaan Kutai dan Tarumanegara karena dalam beberapa prasasti disebutkan mengenai persembahan sapi yang jumlahnya ribuan oleh raja untuk golongan Brahmana. Salah satu prasasti Yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan telah menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Sedangkan dalam prasasti Tugu di Kerajaan Tarumanegara menyebutkan bahwa Raja Purnawarman menghadiahkan seribu ekor sapi untuk kaum Brahmana dalam upacara selamatan pembuatan sungai Gomati. Di kerajaan-kerajaan Bali, terdapat petugas khusus yang berurusan dengan peternakan. Pejabat tersebut bernamaTuhan-jawa(ketua ternak bersayap). Jenis-jenis ternak yang dipelihara oleh rakyat yaitu itik, wdus(kambing), lembu(sapi), kboataukarambo (kerbau),asu(anjing),jaran atauasba(kuda), hayam(ayam), manuk(ayam jantan).
Kehidupan maritim ada pada kerajaan-kerajaan yang berbentuk kerajaan maritim seperti Sriwijaya. Kerajaan ini merupakan kerajaan besar yang kehidupan perekonomiannya tergantung pada lalu lintas di lautan. Selain Sriwijaya, Kerajaan Sunda memiliki juga pelabuhan yang penting, seperti pelabuhan Sunda Kelapa. Melalui pelabuhan ini, ibu kota kerajaan yang ada di pedalaman dapat berhubungan dengan pihak luar.


Struktur Birokrasi antara Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Berbagai Daerah 

         Struktur birokrasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia biasanya diatur berdasarkan kerajaan pusat-daerah dan pusatvasal (bawahan). Hubungan antara va al dengan kerajaan pusat terbentuk karena adanya upaya penaklukan. Kerajaan vaal wajib memberikan upeti kepada kerajaan pusat.
Kedudukan raja sangat sentral dalam pemerintahan karena adanya kepercayaan bahwa raja adalah wakil dewa di muka bumi. Pandangan ini membuat posisi raja menjadi sangat sakral. Apabila raja meninggal yang berhak menggantikannya adalah anak laki-laki pertama dari permaisurinya. Untuk menjalankan roda pemerintahannya raja dibantu oleh pejabat-pejabat yang membentuk birokrasi pemerintahan. Kedudukan raja di kerajaan Mataram berkaitan dengan unsur kosmologi. Manusia adalah mikrokosmos dan jagad raya adalah makrokosmos. Dalam konsepsi Hindu-Buddha, hubungan antara manusia dengan jagad raya adalah hubungan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Menurut kepercayaan ini, manusia senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang, dan planet-planet.
Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kesejahteraan atau kehancuran, sehingga manusia harus dapat menyesuaikan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Kerajaan adalah gambaran sebuah jagad raya dalam bentuk kecil. Penguasa makrokosmos adalah dewa, sedangkan penguasa mikrokosmos adalah raja, sehingga lahirlah konsep dewa-raja. Raja adalah wakil dewa di muka bumi, kedudukannya dianggap sebagai titisan dari dewa. Hubungan antara raja dan rakyat membentuk struktur yang patrimonial. Dalam hubungan ini tercipta hubungan kawula-gusti.Rakyat lebih banyak melakukan kewajibannya.
Terdapat perbedaan penting mengenai struktur pemerintahan pada kerajaan agraris dan kerajaan maritim. Pada kerajaan maritim seperti Sriwijaya, raja mengawasi langsung pada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat perdagangan. agar tidak ada gangguan terhadap aktivitas perdagangan. Selain itu, raja mengangkat para syahbandaryang mengurusi kegiatan-kegiatan di pelabuhan, sedangkan pada kerajaan agraris, raja tidak melakukan pengawasan langsung kepada kekuasaan-kekuasaan di daerah. Raja mengangkat para pejabat yang berkuasa di daerah-daerah. Di kerajaan Mataram, yang menjadi pejabat pusat kerajaan adalah para putra raja dan pejabat-pejabat tertentu yang diangkat oleh raja.
Putra-putra raja Mataram yang menjabat, mendapat gelar rakarayan mapatih i hino, rakarayan i halu, rakarayan i sirikin, danwka. Pejabat pusat yang setingkat dengan putra raja yaitu pamgat tiruan.Pejabat pusat yang kedudukannya di bawah kelima pejabat tersebut di atas, bergelar rake halaran, rake pangilhyan, rake wlahan, pamgat manhuri, rake lanka, rake tanjung, pankur, tawan/hahanan, tirip, pamgat wadihatidan pamgat makudur. Belum ditemukan secara pasti tugas masing-masing pejabat, dalam prasasti-prasasti yang ada. Hanya diperkirakan pamgat wadihati dan pamgat makudur bertugas sebagai pemimpin upacara pada saat penetapan sima. Sima adalah suatu wilayah yang akan dijadikan daerah sumber pandapatan pajak kerajaan. Pankur, tawan dan tirip bertugas mengurusi pajak yang masuk ke kas kerajaan.
Di kerajaan Bali, terdapat suatu Badan Penasihat Pusat yang disebut pakira-kira I jero makabehan. Badan yang berkedudukan di pusat ini beranggotakan beberapa orang Senapati serta pendeta Siwa dan Buddha. Selain pejabat Senapati, terdapat pula pejabat lainnya seperti Samgat ser Krangan, Samgat ser Kahyangan, Samgat Nayakan Buru, Samgat Caksu Wsi, Samgat Taji, Nayakan jawa, dan sebagainya. Kata serartinya kepala ataupimpinan, kraganberarti orang yang tidak mempunyai turunan, caksu berartimataatau pengawas, tajiberhubungan dengan sambung ayam, sedangkanser khayangan berarti pemimpinatau pengawas bangunan suci.
Para pendeta di Bali masuk dalam struktur birokrasi kerajaan. Pejabat agama ini memiliki tugas berkaitan dengan pelaksanaan upacara keagamaan dan terdiri atas dua bagian yaitu untuk agama Siwa bergelar Dharmmadhyaksa ring Kasaiwan, sedangkan untuk golongan Buddha bernama Dharmmadhyaksa ring Kasogatan.
Kerajaan Sunda memiliki struktur birokrasi pemerintahan yang terpusat pada raja, raja adalah penguasa tertinggi di pusat. Raja dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa orangnu nanganan. Di samping itu terdapat putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan raja, jika raja mengundurkan diri atau meninggal  dunia. Raja dibantu oleh beberapa orang raja yang berada di daerah, untukmengurus daerah-daerah yang luas. Raja-raja daerah ini adalah raja yang merdeka dalam melakukan tugasnya sehari-hari, namun mereka tetap mengakui
Raja Sunda yang bertakhta di Pakuan Pajajaran atau Dayo sebagai jungjungan mereka. Raja-raja daerah ini, dapat menggantikan raja pusat apabila raja tidak memiliki pewaris. Di pelabuhan diangkat syahbandar, untuk menangani masalah perniagaan. Kerajaan Majapahit memiliki Bhattara Saptaprabhuatau Dewan Pertimbangan Kerajaan. Dewan ini terdiri atas para sanak saudara raja dan bertugas memberikan pertimbangan kepada raja. Di bawah raja Majapahit terdapat sejumlah raja-raja daerah (paduka bhattara), yang masing-masing memerintah daerahnya sendiri. Biasanya orang yang menjabat sebagai raja daerah adalah sanak saudara raja. Kerajaan daerah bertugas mengumpulkan penghasilan kerajaan dan menyerahkan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan menjaga pertahanan wilayahnya. Para Bhattara ini melaksanakan segala perintah raja, perintah ini diturunkan kepada pejabat yang disebut Rakryan Mahamantri Kartini, jabatan ini biasanya dijabat oleh putra raja yang terdiri atas tiga orang yaitu Rakryan Mahamantri I Hino, Rakryan Mahamantri I Halu,dan Rakryan Mahamantri I Sirikan..Dari pejabat ini kemudian diturunkan lagi kepada pejabat di bawahnya yaitu para Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, para Dharmmadhyaksa, dan para Dharmma-uppatti. Rakryan Mantri ri Pakira-kiran adalah sekolmpok pejabat tinggi yang merupakanDewan Menteri, dan berfungsi sebagai Badan Pelaksana Pemerintahan. Biasanya badan ini terdiri atas lima orang pejabat yaitu Rakryan Mahapatih atau Patih Hamamangkubhumi(Perdana Menteri atau menteri utama),Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakyan Kanuruhan. Dharmmadhyaksaadalah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan juridiksi keagamaan. Ada dua Dharmmadhyaksayaitu Dharmmadhyaksa ring Kasaiwanuntuk urusan agama Siwa, Dharmmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha


 E.Daftar pustaka


                                                                                         By : Sri F,Rika Almaida dan M Alim'mudin












Tidak ada komentar:

Posting Komentar