Candi Laras
Negara Dipa mula-mula
berpusat di negeri Candi Laras (Margasari), kemudian berpindah ke hulu pada
negeri Candi Agung (Amuntai).
Berbeda dengan versi
Hikayat Banjar, legenda suku Maanyan mempercayai bahwa Lambung Mangkurat,
merupakan pengucapan orang Melayu Banjar dari nama Dambung Mangkurap, salah
satu tokoh masyarakat adat Pangunraun Jatuh.
Lambung Mangkurat yang
bergelar Ratu Kuripan ini adalah putra kedua dari Maharaja di Candigelar dari Ampu Jatmaka/Empu Jatmika yang
merupakan seorang perantau saudagar kaya raya dari negeri Keling (Koromandel)
yang datang ke pulau Hujung Tanahatau pulau Kalimantan dengan armada
Prabayaksa. Di dalam naskah Hikayat Banjar & Kotawaringin maupun Tutur
Candi, secara tegas negeri Keling itu dimaknai sebagai suatu tempat di India
yang ditempuh dalam perjalanan laut selama dua bulan.Menurut Veerbek (1889:10) Keling,
provinsi Majapahit di barat daya Kediri. Putra sulung Empu Jatmika adalah
AmpuMandastana atau Lambung Jaya
Wanagiri.
Kerajaan Negara Dipa
ini bukanlah kerajaan yang pertama, karena sudah berdiri Kerajaan Kuripan di
daerah ini, karena itu Empu Jatmika mengabdikan dirinya kepada Raja negeri
Kuripan yang tidak memiliki keturunan.Setelah mendirikan negeri Candi Laras
(Margasari), ia meminta izin kepada Raja
negeri Kuripan untuk membuat (menaklukan) negeri baru di sebelah hulu dari
negeri Kuripan yang diberi nama negeri Candi Agung (Amuntai). Kemudian banyak
penduduk Kuripan yang hijrah/migrasi ke negeri Candi Agung (Amuntai). Setelah
kemangkatan Raja Kuripan, Empu Jatmika/Ampu Jatmaka menjadi
penguasa negeri Candi Agung, negeri Candi Laras dan Kuripan. Kelak daerah
Kuripan ini diwarisi oleh Lambung
Mangkurat sehingga ia juga dikenal sebagai Ratu Kuripan.
Candi Laras adalah
situs candi berukuran kecil yang terdapat di Kecamatan Candi Laras Selatan,
Tapin, Kalimantan Selatan yang ditemukan pada lokasi yang dinamakan penduduk
engan sebutan Tanah Tinggi yang terletak pada posisi koordinat 252′,6″ LS dan
114 56’0,7″ BT. Pada situs candi ini ditemukan potongan-potongan arca Batara
Guru memegang cupu, lembu Nandini dan lingga. Semuanya disimpan di Museum
Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Letak
candi ini tidak berada pada lokasi yang
strategis, sehingga diperkirakan candi ini didirikan untuk maksud-maksud
tertentu dan diperkirakan merupakan candi kenegaraan. Di dalam daerah yang
berdekatan dengan candi ini, yaitu di daerah aliran sungai Amas ditemukan pula
sebuah arca
Buddha Dipangkara dan
tulisan beraksara Pallawa yang berkaitan dengan agama Buddha, berbunyi “siddha”
(selengkapnya seharusnya berbunyi “jaya siddha yatra” artinya “perjalanan
ziarah yang mendapat
berkat”). Daerah sekitar situs candi Laras pada masa lampau merupakan wilayah
Kerajaan Negara Daha, sehingga diperkirakan kerajaan ini menganut agama
Syiwa-Buddha.
Secara fisik,
bangunannya berupa sumur tua dan terdapat beberapa batang kayu ulin besar yang
berumur ratusan tahun yang tertanam tidak jauh dari sumur tersebut. Lokasinya
pun terletak di sebuah pematang yang dikelilingi persawahan warga sekitar.
Selain itu, ada dua buah batu besar yang oleh warga sekitar disebut Batu Babi.
Saat ini, benda sejarah tersebut disimpan di Museum Banjarbaru.
Situs purbakala Candi
Laras ini diperkirakan dibangun pada 1300 Masehi oleh Jimutawahana, keturunan Dapunta Hyang dari kerajaan Sriwijaya. Jimutawahana inilah yang diperkirakan
sebagai nenek moyang warga Tapin.
Kalau dilihat dari
tahun berdirinya, sebenarnya Candi Laras lebih tua dari candi serupa yang ada
di Amuntai yakni Candi Agung yang didirikan pada saat pemerintahan kerajaan
Negara Dipa, 1350 Masehi.
Untuk bisa sampai ke
lokasi situs purbakala ini saja, pengunjung harus menggunakan sampan yang oleh
warga sekitar disebut jukung atau dengan Kelotok. Sebab, tidak adanya jalan
darat yang menghubungkan lokasi Candi Laras dengan desa sekitarnya. Meski
sebenarnya, jarak antara situs purbakala ini dengan desa sekitar relatif dekat
hanya sekitar satu kilometer.
Candi Laras sempat
hancur seiring perkembangan situasi poltik keagamaan pada waktu itu. namun
kedua situs itu masih tersimpan baik di museum Lambung Mangkurat Banjarbaru,
Kalimantan Selatan dan museum ini adalah salah satu peninggalan kesultanan
Banjar. hingga kini nama Candi Laras masih dijadikan nama kecamatan di
Kabupaten Tapin, yaitu Kecamatan Candi Laras Utara dan Candi Laras Selatan.
Candi Laras juga merupakan objek pariwisata yang menarik di Kalimantan Selatan.
Perbedaan
Religiusitas
sebagai warga yang
terlahir di ‘tanah candi’ terhadap peninggalan sejarah umat Budha ini, dan
tidak berupaya mengulas secara historis ilmiah tentang eksistensi situs
purbakala Candi Laras tersebut.
Selama ini sekitar satu
dasawarsa, sepengetahuan penulis belum ada komitmen yang visioner dari
pemerintah daerah terhadap pelestarian aset sejarah ini. Alih-alih pemerintah
propinsi yang jauh dari lokasi situs purbakala Candi Laras, ‘Sang Raja Tapin’
yang duduk tegar di singgasana pun seakan tidak pernah hirau pada pelestarian
aset yang bernilai historis ini. Apalagi berniat mengelolanya sebagai objek
wisata sejarah. Spirit untuk melestarikan aset sejarah ini sepertinya belum
tertuang dalam sebuah komitmen yang praktis, sehingga belum ada strategi dan
pola pengelolaan terhadap situs purbakala Candi Laras.
Bukan sebuah alasan
yang bisa menjustifikasi, keengganan untuk melestarikan aset sejarah ini
dikarenakan Candi Laras merupakan candi yang ditinggalkan oleh nenek moyang
kita yang notabenenya beragama Budha atau Hindu. Maka, ketika saat ini kita
tidak lagi menganut agama yang diyakini nenek moyang kita, semangat untuk
melestarikan aset sejarah bernuansa agama yang berbeda tersebut menjadi pudar
seiring transformasi kepercayaan (religiusitas) masyarakat yang notabene saat
ini beragama Islam. Kalau hal ini menjadi mindset mayoritas warga, apalagi
misalnya bagi petinggi daerah ini, betapa hal ini sangat memiriskan hati.
Kalau dibandingkan
dengan bangsa India, misalnya, tentu hal ini menjadi potret yang antagonis.
Karena, pada umumnya tempat yang menjadi lokasi wisata yang merupakan
peninggalan sejarah tidak didasarkan pada kesamaan religiusitas. Seperti Taj
Mahal dan sebagainya yang merupakan peninggalan sejarah agama Islam yang
notabene berbeda dengan religiusitas mayoritas yang dianut masyarakat India
saat ini, namun komitmen untuk melestarikan aset sejarah mereka terlihat begitu
kuat.
keberadaannya
jelas memberikan informasi tentang keberadaan candi di Kalimantan.
Hikayat Banjar
Alkisah,
seperti dituturkan dalam Hikayat Banjar, sebuah pelayaran dilakukan oleh Ampu
Jatmaka dengan armada Prabayaksa. Ampu Jatmaka merupakan seorang saudagar dari
Keling, yang sebelum pergi diwasiati oleh orangtuanya agar ia harus bersinggah
di suatu wilayah yang berhawa panas, dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karena
hawanya dirasa sesuai dengan wasiat itu. Karena Ampu Jatmaka menganggap dirinya
hanya seorang pedagang bukan anak raja, ia membangun sebuah tempat untuk
tinggal yang sekarang dinamakan Candi Agung. Dan untuk melambangkan dirinya
sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya yang pembuatnya
langsung didatangkan dari Cina.
Ampu Jatmaka
memunyai dua orang anak: Ampu Mandastana dan
Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat ). Kemudian Lambung Mangkurat dijadikan
Patih Kerajaan. Suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau
Kerajaan Dipa tidak memunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu
Banyu (kini Sungai Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terakhir
pertapaannya sebuah petunjuk gaib datang bahwa ia harus menyediakan 40 jenis
makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang yang berpakaian serba
kuning melambangkan kemewahan pada Kerajaan Dipa pada saat itu. Setelah itu
Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua
sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa, tak lama
kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan
raja perempuan di Kerajaan Dipa dan diberi nama Putri Junjung Buih.
Ampu Mandastana,
saudara
Lambung Mangkurat, memunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang
Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan Putri Junjung Buih yang terkenal
cantik Luar biasa dan keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapa pun.
Karena merasa kedua keponakannya tidak sesuai untuk sang putri, Lambung
Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang
disebut “Lubuk Badangsanak” (Danau Berdarah) yang bisa kita lihat sampai
sekarang di Candi Agung Amuntai.
by : HOSSSEIN HASBULLAH
HOSSSEIN HASBULLAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar