Kamis, 20 Oktober 2016

CANDI LARAS



Candi Laras
Negara Dipa mula-mula berpusat di negeri Candi Laras (Margasari), kemudian berpindah ke hulu pada negeri Candi Agung (Amuntai).
Berbeda dengan versi Hikayat Banjar, legenda suku Maanyan mempercayai bahwa Lambung Mangkurat, merupakan pengucapan orang Melayu Banjar dari nama Dambung Mangkurap, salah satu tokoh masyarakat adat Pangunraun Jatuh.
Lambung Mangkurat yang bergelar Ratu Kuripan ini adalah putra kedua dari Maharaja di Candigelar dari Ampu Jatmaka/Empu Jatmika yang merupakan seorang perantau saudagar kaya raya dari negeri Keling (Koromandel) yang datang ke pulau Hujung Tanahatau pulau Kalimantan dengan armada Prabayaksa. Di dalam naskah Hikayat Banjar & Kotawaringin maupun Tutur Candi, secara tegas negeri Keling itu dimaknai sebagai suatu tempat di India yang ditempuh dalam perjalanan laut selama dua bulan.Menurut Veerbek (1889:10) Keling, provinsi Majapahit di barat daya Kediri. Putra sulung Empu Jatmika adalah AmpuMandastana atau Lambung Jaya Wanagiri.
Kerajaan Negara Dipa ini bukanlah kerajaan yang pertama, karena sudah berdiri Kerajaan Kuripan di daerah ini, karena itu Empu Jatmika mengabdikan dirinya kepada Raja negeri Kuripan yang tidak memiliki keturunan.Setelah mendirikan negeri Candi Laras (Margasari), ia meminta izin kepada Raja negeri Kuripan untuk membuat (menaklukan) negeri baru di sebelah hulu dari negeri Kuripan yang diberi nama negeri Candi Agung (Amuntai). Kemudian banyak penduduk Kuripan yang hijrah/migrasi ke negeri Candi Agung (Amuntai). Setelah kemangkatan Raja Kuripan, Empu Jatmika/Ampu Jatmaka menjadi penguasa negeri Candi Agung, negeri Candi Laras dan Kuripan. Kelak daerah Kuripan ini diwarisi oleh Lambung Mangkurat sehingga ia juga dikenal sebagai Ratu Kuripan.
Candi Laras adalah situs candi berukuran kecil yang terdapat di Kecamatan Candi Laras Selatan, Tapin, Kalimantan Selatan yang ditemukan pada lokasi yang dinamakan penduduk engan sebutan Tanah Tinggi yang terletak pada posisi koordinat 252′,6″ LS dan 114 56’0,7″ BT. Pada situs candi ini ditemukan potongan-potongan arca Batara Guru memegang cupu, lembu Nandini dan lingga. Semuanya disimpan di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Letak
candi ini tidak berada pada lokasi yang strategis, sehingga diperkirakan candi ini didirikan untuk maksud-maksud tertentu dan diperkirakan merupakan candi kenegaraan. Di dalam daerah yang berdekatan dengan candi ini, yaitu di daerah aliran sungai Amas ditemukan pula sebuah arca
Buddha Dipangkara dan tulisan beraksara Pallawa yang berkaitan dengan agama Buddha, berbunyi “siddha” (selengkapnya seharusnya berbunyi “jaya siddha yatra” artinya “perjalanan
ziarah yang mendapat berkat”). Daerah sekitar situs candi Laras pada masa lampau merupakan wilayah Kerajaan Negara Daha, sehingga diperkirakan kerajaan ini menganut agama Syiwa-Buddha.
Secara fisik, bangunannya berupa sumur tua dan terdapat beberapa batang kayu ulin besar yang berumur ratusan tahun yang tertanam tidak jauh dari sumur tersebut. Lokasinya pun terletak di sebuah pematang yang dikelilingi persawahan warga sekitar. Selain itu, ada dua buah batu besar yang oleh warga sekitar disebut Batu Babi. Saat ini, benda sejarah tersebut disimpan di Museum Banjarbaru.
Situs purbakala Candi Laras ini diperkirakan dibangun pada 1300 Masehi oleh Jimutawahana, keturunan Dapunta Hyang dari kerajaan Sriwijaya. Jimutawahana inilah yang diperkirakan sebagai nenek moyang warga Tapin.
Kalau dilihat dari tahun berdirinya, sebenarnya Candi Laras lebih tua dari candi serupa yang ada di Amuntai yakni Candi Agung yang didirikan pada saat pemerintahan kerajaan Negara Dipa, 1350 Masehi.
Untuk bisa sampai ke lokasi situs purbakala ini saja, pengunjung harus menggunakan sampan yang oleh warga sekitar disebut jukung atau dengan Kelotok. Sebab, tidak adanya jalan darat yang menghubungkan lokasi Candi Laras dengan desa sekitarnya. Meski sebenarnya, jarak antara situs purbakala ini dengan desa sekitar relatif dekat hanya sekitar satu kilometer.

Candi Laras sempat hancur seiring perkembangan situasi poltik keagamaan pada waktu itu. namun kedua situs itu masih tersimpan baik di museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan museum ini adalah salah satu peninggalan kesultanan Banjar. hingga kini nama Candi Laras masih dijadikan nama kecamatan di Kabupaten Tapin, yaitu Kecamatan Candi Laras Utara dan Candi Laras Selatan. Candi Laras juga merupakan objek pariwisata yang menarik di Kalimantan Selatan.




Perbedaan Religiusitas
sebagai warga yang terlahir di ‘tanah candi’ terhadap peninggalan sejarah umat Budha ini, dan tidak berupaya mengulas secara historis ilmiah tentang eksistensi situs purbakala Candi Laras tersebut.

Selama ini sekitar satu dasawarsa, sepengetahuan penulis belum ada komitmen yang visioner dari pemerintah daerah terhadap pelestarian aset sejarah ini. Alih-alih pemerintah propinsi yang jauh dari lokasi situs purbakala Candi Laras, ‘Sang Raja Tapin’ yang duduk tegar di singgasana pun seakan tidak pernah hirau pada pelestarian aset yang bernilai historis ini. Apalagi berniat mengelolanya sebagai objek wisata sejarah. Spirit untuk melestarikan aset sejarah ini sepertinya belum tertuang dalam sebuah komitmen yang praktis, sehingga belum ada strategi dan pola pengelolaan terhadap situs purbakala Candi Laras.

Bukan sebuah alasan yang bisa menjustifikasi, keengganan untuk melestarikan aset sejarah ini dikarenakan Candi Laras merupakan candi yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita yang notabenenya beragama Budha atau Hindu. Maka, ketika saat ini kita tidak lagi menganut agama yang diyakini nenek moyang kita, semangat untuk melestarikan aset sejarah bernuansa agama yang berbeda tersebut menjadi pudar seiring transformasi kepercayaan (religiusitas) masyarakat yang notabene saat ini beragama Islam. Kalau hal ini menjadi mindset mayoritas warga, apalagi misalnya bagi petinggi daerah ini, betapa hal ini sangat memiriskan hati.

Kalau dibandingkan dengan bangsa India, misalnya, tentu hal ini menjadi potret yang antagonis. Karena, pada umumnya tempat yang menjadi lokasi wisata yang merupakan peninggalan sejarah tidak didasarkan pada kesamaan religiusitas. Seperti Taj Mahal dan sebagainya yang merupakan peninggalan sejarah agama Islam yang notabene berbeda dengan religiusitas mayoritas yang dianut masyarakat India saat ini, namun komitmen untuk melestarikan aset sejarah mereka terlihat begitu kuat.


     keberadaannya jelas memberikan informasi tentang keberadaan candi di Kalimantan.

Hikayat Banjar

Alkisah, seperti dituturkan dalam Hikayat Banjar, sebuah pelayaran dilakukan oleh Ampu Jatmaka dengan armada Prabayaksa. Ampu Jatmaka merupakan seorang saudagar dari Keling, yang sebelum pergi diwasiati oleh orangtuanya agar ia harus bersinggah di suatu wilayah yang berhawa panas, dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karena hawanya dirasa sesuai dengan wasiat itu. Karena Ampu Jatmaka menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan anak raja, ia membangun sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan Candi Agung. Dan untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.

Ampu Jatmaka
 memunyai dua orang anak: Ampu Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat ). Kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih Kerajaan. Suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau Kerajaan Dipa tidak memunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu (kini Sungai Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terakhir pertapaannya sebuah petunjuk gaib datang bahwa ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada Kerajaan Dipa pada saat itu. Setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa, tak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di Kerajaan Dipa dan diberi nama Putri Junjung Buih.

Ampu Mandastana,
saudara Lambung Mangkurat, memunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan Putri Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa dan keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Karena merasa kedua keponakannya tidak sesuai untuk sang putri, Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “Lubuk Badangsanak” (Danau Berdarah) yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.



by : HOSSSEIN HASBULLAH


 

HOSSSEIN HASBULLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar